Berita

Peluh musim semi

Kisah yang disematkan. Atau mungkin diabaikan? Jauh sebelum hari ini, langit tak biru, langit tak mengenal siapa itu biru. Angin tak sejuk layaknya hari ini, angin tak mengenal siapa itu sejuk. Embun tak indah layaknya pagi, tak sempat penduduk asli menikmatinya— dan embun tak mengenal keindahan dirinya di pagi hari. Sama sekali mereka tak mengerti. Atau mungkin lebih tepatnya mereka telah lama melupakannya, memilih menyaksikan tumpah-darah. Saksi bisu hari itu.

 

Kisah yang disematkan. Atau mungkin dilupakan? Kala itu, Moyang merasa berat hati, menatap nanar buminya seraya berkata, “Oh, seandainya tak pernah ada batang hidung Netherland itu,” keluhnya dengan bibir yang kelu, senyum pahit, dengan tubuhnya yang kerempeng kekurangan gizi. Kurus sekali, kelaparan pula. Bersedih pula. Tertindas pula. Tetapi ia tidak putus asa. Dirinya ada, jiwanya sesungguhnya membara.

 

Gemerincing burung bernyanyi setiap harinya. Tak mengenal lelah, tak mengenal keadan insan. Meskipun langit biru, ia menangis dalam hatinya. Namun ia tak pernah membebani insan. Mengertikah dikau? Terkadang menangispun membawa manfaat. Ada masanya kita terjatuh, di bawah segala-galanya. Kita bersedih, agar kita tahu bahwa kita adalah yang memiliki hati.

 

Begitulah yang dirasakan Moyang. Sederhana, namun pantang menyerah. Moyang menatap pohon rindang hijau, gunung-gunung yang berdiri gagah menatapnya dari puncak dan seakan berkata: Jika bukan kau, siapa lagi? Jika bukan kau, dunia akan begini-gini saja. Cucu-cucumu berharap padamu. Senyum mereka kelak adalah hasil kegigihanmu. Rasa-rasanya gunung tersenyum pada Moyang. Tak sadar, air matanya meluncur nakal.

 

Di lain nuansa, laut berteriak, ‘tersenyumlah!’ dengan caranya sendiri. Moyang tersenyum tipis. Ia paham, alampun mencintainya. Alam menunggu semangatnya hingga akhirnya tak hanya Moyang yang membara. Langit mulai tersenyum, ikut menunggu.

“Mau sampai kapan kita bertopang dagu? Mau sampai kapan kita menunggu? Jangan menunggu, tapi katakanlah AKU!” Raja, pangeran, panglima, kesatria, pun pemimpin- pemimpin lainnya akhirnya bersuara. Menggebukan semangat Moyang.

 

Moyang bersahaja, bambu ia runcingkan. Baju compang-camping ia kenakan. Kesedihan ia singkirkan. Tak ada yang mewah, tak ada yang elite apalagi modern. Tak ada, bahkan peluh bermekaran bagai bunga di musim semi yang melupakan salju putih.

 

Takut. Dulunya Moyang begitu. Hanya saja, rasa itu lenyap, menguap begitu saja. Maaf,

Netherland. Benar jika kau mengajari kami banyak hal. Benar jika kau membuka mata


Indische ini tentang dunia. Benar, semua itu benar. Sekali lagi maaf, namun kau harus ingat, kau tak pernah mengatakan ‘kami datang dengan damai.’ Dan benar, kau merampas simpanan kekayaan kami. Hutan, gunung, sawah, lautan, semuanya tanpa sisa. Bahkan kau merampas nyawa keluarga Moyang.

 

Hingga akhirnya pertumpahan-darah berlangsung dengan hati yang porak-poranda. Kalau kata Moyang, ‘bahkan untuk bumiku, nyawaku tak ada apa-apanya.’ Langit ikut berdarah, matahari ikut bersembunyi sambil mengintip ledakan semangat Moyang yang membara.

 

Entahlah, sudah berapa lama Moyang bertahan hingga akhirnya datang sosok pemimpin, pelindung, juga cahaya bagi Moyang. Datang dengan janji manisnya: kebebasan, kejayaan, kesejahteraan. Moyang menatap sosok pemimpin itu dengan haru. Genangan air menari- nari di pelupuk matanya, buru-buru ia usap sebelum terjun bebas.

 

Sayang sejuta sayang, Moyang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ia terbuai janji-janji palsu sosok pelindung itu. Senyumnya meluruh, menjadi darah yang berhamburan— bahkan lebih menguliti. Sesungguhnya ia bukan pelindung, tapi psikopat gila. Menusuk dengan pisau tumpul perlahan. Menimang-nimang di awal, bagai Moyang dalam buaiannya. Namanya Nippon.

 

Tak hanya Indische yang ditebas, pun Netherland. Indische dipaksa bekerja, bahkan hampir tanpa upah. Senyum Moyang kembali sirna, zalim sekali Nippon. Tanpa sadar, Moyang memanjatkan harapannya. Tak bisakah siksaan ini berakhir? Tak bisakah Nippon merasakan apa yang telah kurasakan dalam nadi-nadiku, dalam tulang-tulangku? Tak bisakah? Seandainya situasi ini berbalik, diri hanya mengharapkan kebebasan. Diri hanya mengharapkan senyuman dan kehangatan keluarga. Begitulah yang terbesit dalam hatinya, dan suatu hari nanti Moyang akan tahu, Tuhan Mendengarkan. Harapan yang Moyang panjatkan dikabulkan, sesuai janji-Nya.

 

Hari-hari merangkak dengan sekuat tenaganya. Air mengucur dari pori-pori, padahal langit menangis. Mengapa? Beban yang ia pikul begitu berat, harus ia pikul atau ia akan tertembak mati oleh Nippon. Beban hatinya pun berat, namun dalam kamus kehidupannya tak ada kata menyerah. Segala strategi Moyang buat, menuju masa depan dengan embun indah, setidaknya.

 

 

Embun indah pada akhirnya datang dengan sendirinya. Begitupun debur ombak, mereka berpesta bersama. Bunga-bunga bermekaran tak kalah indahnya dengan embun— berguguran menatap Moyang. Sungai berlomba-lomba mengejar mimpinya di muara. Rintik hujan haru membentuk mutiara, mengalir indah, hinggap di atas dedaunan. Moyang mendongak, menatap langit kelabu. Hei, ini sungguh berakhir? pikirnya.


Hari ini, ocehan radio mengejutkan Moyang. Nippon dijatuhi dinamit yang belum pernah diluncurkan dalam sejarah perang manapun sebelumnya. 14 Agustus yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Apa ini? Sungguhan? Aku tidak bermimpi, kan? milyaran pertanyaan muncul di benak Moyang, sambil menatap barisan bunga yang menggeliat gemas, sambil menatap ombak yang berpesta ria. Akhirnya Moyang tersenyum lagi. Wajahnya semakin menawan saja, semakin terlihat muda dan rupawan saja.

 

Ketika matahari tak lagi bersembunyi, matahari menonton dari atas hari itu. Hari meriah tanggal 17 Agustus, matahari tertawa bahagia. Entahlah, mungkin karena itu Hari Jumat? Atau mungkin senang menatap Moyang dari kejauhan? Atau mungkin keduanya? Simpulkan saja sesuka hati, yang jelas, Moyang bersorak kegirangan, memajang kain berwarna merah-putih dimana-mana.

 

Agustus yang tak biasa. Agustus yang tak disangka. Musim kemarau yang mendadak hujan. Mendebarkan hati, memancing semangat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Pukul sepuluh tepat saat itu, terdengar suara pemimpin dari radio, membacakan pengakuan kebebasannya, atau lebih dikenal dengan istilah proklamasi kemerdekaan.

 

Moyang menghembuskan napas perlahan, melegakan semua beban-beban yang telah lama ia pikul. Ia tersenyum tipis. Memang semua tak sesederhana itu, dan tentunya perlu diingat, ada banyak pelajaran yang dapat kita petik dari semua momen ini. Momen yang ‘tak semua orang bisa merasakannya’. Jika perlu jangan. Jangan sampai darah kelahiran darinya merasakan hal yang sama.

 

Bukan hanya aku yang mendapatkan pelajaran dari sini. Begitupun anak-cucuku akan mendapatkannya. Dan itulah tujuan manusia yang sebenar-benarnya, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. pikir Moyang, lantas menghirup udara segar dalam-dalam. Hanya untuk malam ini.

 

 Created by : Fadia XII MIPA 2